Bab 1
Pendahuluan
I.
Tujuan
Mempelajari
lebih dalam tentang sejarah Indonesia demokrasi terpimpin.
II. II.
Latar Belakang
Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh
Presiden Soekarno :
1. Dari segi keamanan nasional : Banyaknya gerakan
separatis pada masa
demokrasi liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.
2. Dari segi perekonomian
: Sering terjadinya pergantian
kabinet pada masa demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang
oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
Masa Demokrasi Terpimpin yang
dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD
1945. Namun usulan itu menimbulkan pro
dan kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya,
diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota konstituante. Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi
konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa :
·
269
orang setuju untuk kembali ke UUD 1945
·
119
orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945
Melihat dari hasil voting, usulan
untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh
jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3
bagian, seperti yang telah ditetapkan pada
pasal 137 UUDS 1950.
Bertolak dari hal tersebut,
Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
1. Tidak berlaku kembali UUDS 1950
2. Berlakunya kembali UUD 1945
3. Dibubarkannya konstituante
III.
III. Sejarah Demokrasi Terpimpin
Masa Demokrasi Terpimpin di Indonesia (1960-1965)
Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi pasca Pemilihan Umum 1955
membuat situasi politik tidak menentu. Kekacauan politik ini membuat keadaan
negara menjadi dalam keadaan darurat. Hal mi diperparah dengan Dewan
Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga
negara Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap. Berikut latar
belakang munculnya penerapan demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno.
a. Konstituante Gagal Menyusun Undang Undang Dasar Baru
Hasil pemilihan umum memunculkan NU dan PKI sebagai
partai besar di samping PNI dan Masyumi. Setelah pemilihan umum itu dibentuk
Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada tanggal 24 Maret 1956 berdasarkan perimbangan
partai-partai di dalam pariemen. Kabinet ini juga tidak lama bertahan, karena
adanya oposisi dari daerah-daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah
mengabaikan pembangunan di daerah.
Pada bulan Februari 1957, Presiden Soekamo memanggil semua
pejabat sipil dan militer beserta semua pimpinan partai politik ke Istana
Merdeka. Dalam pertemuan itu untuk pertama kalinya Presiden Soekarno
mengaju-kan konsepsi yang berisi antara lain sebagai berikut.
- Dibentuk Kabinet Gotong-Royong yang terdiri atas wakil-wakil semua partai ditambah dengan golongan fungsional.
- Dibentuk Dewan Nasional (kemudian bernama Dewan Pertimbangan Agung). Anggota-anggotanya adalah wakil-wakil partai dan golongan fungsional dalam masyarakat. Fungsi dewan ini adalah member! nasehat kepada kabinet baik diminta maupun tidak.
Konsepsi itu
ditolak oleh beberapa partai, yakni Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik, dan PRI.
Mereka berpendapat bahwa mengubah susunan ketatanegaraan secara radikal hams
diserahkan kepada Konstituante. Suhu politik pun semakin bertambah panas. Dalam
peringatan Sumpah Pemuda pada tahun 1957, Presiden Soekamo menyatakan bahwa
segala kesulitan yang dihadapi negara pada waktu itu disebabkan adanya banyak
partai politik, sehingga merusak persatuan dan kesatuan negara. Oleh karena
itu, ada baiknya parta-partai politik dibubarkan.
Kemudian, dengan alasan menyelamatkan negara, Presiden
Soekarno mengajukan suatu konsepsi dengan nama Demokrasi Terpimpin.
Konsepsi Presiden itu mendapat tantangan yang hebat. Untuk sementara waktu,
masalah politik dan perdebatan Konsepsi Presiden menjadi beku, karena perhatian
masyarakat diarahkan kepada upaya penumpasan pem-berontakan FRRI-Permesta.
Setelah pemberontakan itu berhasil diatasi, masalah politik muncul kembali.
Masalah menjadi sangat serius, karena konstituante mengalami kemacetan dalam
menetapkan dasar negara. Kemacetan itu teriadi karena masing-masing partai
hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan atau mendahulukan
kepentingan negara dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Masalah utama
yang dihadapi oleh konstituante adalah tentang penetapan dasar negara. Terjadi
tarik-ulur di antara golongan-golongan dalam konstituante. Sekelompok partai
menghendaki agar Pancasila menjadi dasar negara, namun sekelompok partai
lainnya menghendaki agama Islam sebagai dasar negara.
Dalam upaya mengatasi kemacetan konstituante, muncul
gagasan untuk kembali ke UUD 1945 dari kalangan ABRI. Dengan kembali ke UUD
1945, maka berbagai kekalutan politik dapat diselesaikan dengan dasar yang
kokoh untuk diselesaikan, yaitu pemerintahan yang stabil, masalah dasar negara
teratasi, semangat 45 dapat dipulihkan, sehingga persatuan dapat dipulihkan
juga. Berbagai partai politik ada yang memberikan dukungan terhadap gagasan
tersebut, kemudian Kabinet juga menerima gagasan kembali ke UUD 1945 pada
tanggal 19 Februari 1959.
Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno
menyampaikan anjuran pemerintah supaya konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi
konsdtusi Negara Republik Indonesia. Menanggapi anjuran pemerintah itu dan
sesuai dengan aturan yang berlaku, konstituante dapat menentukan sikap atau
melakukan pemungutan suara. Pemungutan suara dilaksanakan riga kali dan
hasilnya yaitu suara yang setuju selalu lebih banyak dari suara yang menolak
kembali ke UUD 1945, tetapi anggota yang hadir selalu kurang dari dua pertiga.
Hal ini menjadi masalah, karena masih belum memenuhi quorum. Keadaan
politik masih tetap tidak menentu. Kegagalan konstituante mengambil keputusan
itu menunjukkan bahwa anggota dari partai-partai politik yang hadir masih tetap
mengabdi kepada kepentingin partainya. Hal ini membukdkan bahwa selama tiga
tahun konstituante ti-iak mampu mengambil keputusan untuk menetapkan UUD baru
sebagai pengganti UUD Sementara 1950.
Dengan kegagalan konstituante mengambil suatu keputusan,
maka sebagian anggotanya menyatakan tidak akan menghadiri sidang konstituante
lagi. Sementara itu sejak tanggal 3 Juni 1959, konstituante memasuki masa reses
dan ternyata merupakan resesnya yang terakhir. Pada saat itu pula Penguasa
Perang Pusat dengan peraturan Nomor : PRT/PEPERPU/040/1959 melarang adanya
kegiatan politik. Berbagai partai dan ABRI mendukung usul supaya UUD 1945
diberlakukan kembali.
b. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Sampai tahun 1959 Konstituante tidak pernah berhasil
merumuskan Undang-Undang Dasar baru. Keadaan itu semakin mengguncangkan situasi politik di Indonesia pada saat
itu. Bahkan, masing-masing partai
politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya
tercapai. Oleh sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi politik negara
Indonesia semakin buruk dan kacau.
Keadaan yang semakin bertambah kacau ini bisa
membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Suasana
semakin bertambah panas karena adanya ketegangan yang diikuti dengan
keganjilan-keganjilan sikap dari setiap partai politik yang berada di Konstituante.
Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah. mengambil
tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante. Namun,
Konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.
Kegagalan Konstituante untuk melaksanakan
sidang-sidangnya untuk membuat undang-undang dasar baru, menyebabkan negara
Indonesia dilanda kekalutan konstitusional. Undang-Undang Dasar yang menjadi
dasar hukum pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat, sedang-kan
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi
liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
Untuk mengatasi situasi yang tidak menentu itu, pada bulan Februari 1957
Presiden Soekarno mengajukan gagasan yang disebut dengan Konsepsi Presiden.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa tokoh
partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mendekritkan
berlakunya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Pemberlakuan kembali
Undang-undang Dasar 1945 merupakan langkah terbaik untuk mewujud-kan persatuan
dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut: (1) Pembubaran
Konstituante. (2) berlakunya kembali UUD 1945 dan idak berlakunya UUDS 1950,
(3) Pembentukkan MPRS dan DPAS.
Dekrit Presiden mendapat dukungan penuh dari masyarakat Indonesia. KSAD
langsung mengeluarkan perintah harian kepada seluruh anggota TNI untuk
mengamankan Dekrit Presiden. Mahkamah Agung juga membenarkan keberadaan Dekrit
itu. DPR hasil pemilihan umum tahun 1955 juga menyatakan kesediaannya untuk
terus bekerja berdasarkan UUD 1945.
c. Pengaruh Dekrit Presiden
Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959 telah memenuhi harapan rakyat. Namun demikian,
harapan itu akhirnya hilang, karena ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara
murni dan konsekuen. UUD 1945 yang menjadi dasar hukum konstitusional
penyelenggaraan pemerintahan hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka. Hal ini
terlihat dengan jelas dari masalah-masalah berikut ini,
Kedudukan Presiden Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah
MPR. Akan tetapi, pada kenyataannya MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden
menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal ini terlihat dengan jelas
dari tindakan presiden ketika mengangkat ketua MPRS yang dirangkap oleh wakil
perdana menteri III dan mengangkat wakil-wakil ketua MPRS yang dipilih dari
pimpinan partai-partai besar (PNI, NU, dan PKI) serta wakil ABRI yang
masing-masing diberi kedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
Pembentukan MPRS Presiden Soekarno juga membentuk MPRS ber-dasarkan
Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden
Soekarno itu bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam UUD 1945 telah
ditetapkan bahwa pengangkatan anggota MPR sebagai lembaga tertinggi negara hams
melalui pemilihan umum, sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat
memiliki anggota-anggotanya yang duduk di MPR.
Manifesto Politik Republik Indonesia Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 berjudul "Penemuan
Kembali Revolusi Kita", dikenal dengan Manifesto Politik Republik
Indonesia. Atas usulan dari DPA yang bersidang tanggal
23-25 September 1959 agar Manifestio Politik Republik Indoneia itu dijadi-kan
Garis-garis Besar Haluan Negara. Inti Manifesto Politik itu adalah USDEK
(Undang Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, dan Keperibadian Indonesia).
Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukkan DPR-GR
Anggota DPR hasil pemilu tahun 1955 mencoba menjalankan fungsinya dengan
menolak RAPBN yang diajukan oleh Presiden. Sebagai akibat dari penolakan itu,
DPR hasil pemilu dibubarkan dan diganti dengan pembentukkan DPR-GR (Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Padahal langkah ini bertentangan dengan UUD
1945 yang menyebutkan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Keanggotaan dalam DPR-GR diduduki oleh tokoh-tokoh
beberapa partai besar, seperti PNI, NU, dan PKI. Ketiga partai ini dianggap
telah mewakili seluruh golongan seperti golongan nasionalis, agama, dan komunis
yang sesuai dengan konsep Nasakom. Dalam pidato Presiden Soekarno pada upacara
pelantikan DPR-GR pada tanggal 25 Juni 1960 disebutkan tugas DPR-GR adalah
melaksanakan Manifesto Politik, me-realisasikan Amanat Penderitaan Rakyat dan
melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya, untuk menegakkan Demokrasi
Terpimpin, Presiden Soekarno mendirikan lembaga-lembaga negara lainnya,
misalnya Front Nasional yang dibentuk melalui Penetapan Presiden No. 13 tahun
1959.
Masuknya pengaruh PKI Konsep Nasakom memberi peluang
kepada PKI untuk memperluas dan mengembangkan pengaruhnya. Secara perlahan dan
hati-hati, PKI berusaha untuk menggeser kekuatan-kekuatan yang yang berusaha
menghalanginya. Sasaran PKI selanjutnya adalah berusaha menggeser kedudukan
Pancasila dan UUD 1945 digantikan menjadi komunis. Setelah itu, PKI mengambil
alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. Untuk mewujudkan rencananya,
PKI memengaruhi sistem Demokrasi Terpimpin. Hal ini terlihat dengan jelas bahwa
konsep terpimpin dari Presiden Soekarno yang berporos nasionalis, agama, dan
komunis (Nasakom) mendapat dukungan sepenuhnya dari pimpinan PKI, D.N. Aidit.
Bahkan melalui Nasakom, PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno bahwa
Presiden Soekarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.
Arah politik luar negeri Indonesia terjadi penyimpangan
dari politik luar negeri bebas-aktif menjadi condong pada salah satu poros.
Pada masa itu diberlakukan politik konfrontasi yang diarahkan pada
negara-negara kapitalis, seperti negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Politik konfrontasi
dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old
Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu
negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara
kornunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme. Sedangkan Oldefo
merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang
neokolonialis dan imperialis (Nekolim).
Bentuk perwujudan poros anti
imperialis dan kolonialis itu dibentuk poros Jakarta - Phnom Penh - Hanoi -
Peking - Pyong Yang. Akibatnya ruang gerak diplomasi Indonesia di forum
internasional menjadi sempit, karena berkiblat ke negera-negara komunis. Selain
itu, pemerintah juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini
disebabkan pemerintah tidak setuju dengan pembentukkan negara federasi Malaysia
yang dianggap proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan
negara-negara blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi itu, Presiden Soekarno
mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 yang isinya
sebagai berikut :
• Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.
• Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk
membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
Pelaksanaan Dwikora itu
diawali dengan pembentukan Komando Siaga dipimpin Marsekal Omar Dani. Komando
Siaga ini bertugas untuk mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat.
Hal ini menunjuk-kan adanya campur-tangan Indonesia pada masalah dalam negeri
Malaysia.
d. Kehidupan Politik di Masa Demokrasi Terpimpin
Sebagai tindak lanjut Dekrit
Presiden adalah penataan kehidupan politik sesuai ketentuan-ketentuan demokrasi
terpimpin. Selain dibentuk kabinet kerja, juga dibentuk lembaga-lembaga negara
seperti MPRS, DPR-GR dan Front Nasional. Keanggotaan umum lembaga itu disusun
berdasarkan komposisi gotong-royong sebagai perwujudan dari demokrasi
terpimpin.
TNI dan POLRI disatukan
menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas empat
angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, dan
Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh seorang Menteri
Panglima Angkatan yang kedudukannya langsung berada di bawah Presiden atau Panglima
Tertinggi ABRI. Golongan ABRI diakui sebagai salah satu golongan fungsional dan
menjadi salah satu kekuatan sosial politik. Dengan demikian, ABRI dapat
memainkan peranannya sebagai salah satu kekuatan sosial politik.
Berdasarkan Penpres No. 7
Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959, kehidupan partai politik ditata dengan
menetapkan syarat-syarat yang hams dipenuhi oleh partai politik. Partai politik
yang tidak memenuhi syarat dihapuskan, misalnya jumlah anggotanya terlalu
sedikit. Dengan dikeluarkannya Penpres itu
partai politik yang masih dapat bertahan antara lain
PNI, Partai Masyumi, Partai NU, PKI, Partai Katolik, Parkindo, PSI, Partai
Murba, Partai IPKI, PSII, dan Partai Perti. Tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah lebih dikenal dengan tindakan penyederhanaan kepartaian. Sementara
itu, sejumlah tokoh dari Partai Masyumi dan PSI terlibat dalam gerakan
PRRI-Permesta, sehingga kedua partai ini dibubarkan oleh pemerintah.
Dalam keadaan seperti itu, kekuatan politik yang ada
pada waktu itu adalah presiden dan ABRI serta partai-partai, terutama PKI.
Presiden Soekamo dalam politiknya selalu berusaha untuk menjaga keseimbangan (balance
of power) dalam tubuh ABRI dan juga antara ABRI dengan partai politik. Untuk menjaga keseimbangan itu, Presiden Soekarno
memerlukan dukungan dari PKI. Namun, PKI hanya mengutamakan kepentingannya
sendiri agar dapat memainkan perannya yang dominan di bidang politik. Dominasi
PKI itu diperoleh dengan mendukung konsep Nasakom Presiden Soekarno.
7
Sementara itu, tuduhan terhadap PKI yang bersifat
internasional (kurang nasional) dan anti agama dijawab bahwa PKI menerima
Manipol (Manifesto Politik) yang di dalamnya mencakup Pancasila. Ajakan
Presiden Soekarno supaya jangan komunistophobi (takut terhadap komunis)
sangat menguntung-kan PKI dan menjadikan PKI aman. PKI mendapat keuntungan dan
perlindungan dari kebijakan politik Presiden Soekarno.
Dalam rangka mewujudkan sosialisme (dan kelak komunisme)
di Indonesia, PKI menempuh tindakan-tindakan sebagai berikut.
a) Dalam Negeri; berusaha menyusup ke
partai-partai politik atau organisasi massa (ormas) yang menjadi lawannya,
kemudian memecah belah. Di bidang pendidikan mengusahakan agar
marxisme-leninisme menjadi salah satu mata pelajaran wajib. Di bidang militer
mencoba meng-indoktrinasi para perwira dengan ajaran komunis dan membina
sel-sel di kalangan ABRI.
b) Luar Negeri; berusaha mengubah politik luar
negeri Indonesia yang bebas-aktif menjadi politik yang menjurus ke
negara-negara komunis.
PKI dicurigai mempunyai keinginan untuk merebut kekuasaan
pemerintahan. Kecurigaan ini berdasarkan pengalaman masa lalu, yaitu
pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Pada tahun 1964, ditemukan dokumen yang
memuat rencana PKI merebut kekuasaan. PKI menyatakan bahwa dokumen itu palsu.
Berkat
perlindungan Presiden Soekarno dan dominasi di bidang politik, tidak ada
tindakan lebih lanjut atas tuduhan itu. D.N. Aidit (Ketua PKI) di hadapan
peserta kursus Kader Revolusi menyatakan bahwa Pancasila hanya merupakan
alat pemersatu dan kalau sudah bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi. Pemyataan ini tidak mendapat tindakan dan peringatan dari
Presiden Soekamo, sehingga PKI dapat melakukan intimidasi dan teror politik di
segala bidang. -
Pada bidang kebudayaan dan pers, PKI memengaruhi Presiden
Soekarno untuk melarang Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dan Barisan
Pendukung Soekarno (BPS). Alasannya keduanya didukung dinas intelijen Amerika
Serikat (CIA). Sebenarnya yang ditentang PKI bukan manifesto kebudayaan, tetapi
terselenggaranya Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang berhasil
membentuk organisasi pengarang dengan nama Persatuan Karyawan Pengarang
Indonesia (PKPI). PKI juga berhasil memengaruhi Antara (Kantor berita) dan RRI.
Di bidang kepartaian, PKI berhasil menfitnah Partai
Murba, sehingga partai itu dibubarkan oleh Presiden Soekarno. PKI juga
mengadakan penyusupan ke partai-partai lain. PNI yang dipimpin oleh Ali
Sastroamidjojo sebagai ketua dan Jenderal Surachman sebagai sekretaris
jenderalnya disusupi PKI. Besarnya pengaruh PKI pada PNI (Ali - Surachman)
menyebabkan marhaenisme diberi arti marxisme yang diterapkan di
Indonesia. Tokoh-tokoh
marhaenisme sejati seperti Osa Maliki dipecat dari keanggotaan partai. Golongan
Osa Maliki membentuk pengurus tandingan, sehingga terbentuklah PNI Osa-Usep
(Ketuanya Osa Maliki dan sekretaris jenderalnya Usep Ranuwijaya). Dengan
demikian, PNI pecah menjadi dua.
Pada bidang agraria dan pertanian, PKI melalui ormasnya,
Barisan Tani Indonesia (BTI) berhasil mengacaukan pelaksanaan landreform di
beberapa tempat dan melakukan aksi sepihak dalam bentuk penyerobotan tanah,
seperti di Klaten, Boyolali, Kediri (Peristiwa Jengkol), dan Sumatera Utara
(Peristiwa Bandar Betsy). Aksi sepihak itu bertujuan untuk mengacaukan keadaan
dan juga sebagai alat ukur untuk mengetahui reaksi dan tindakan yang akan
dilakukan oleh pihak ABRI.
Dalam usaha memengaruhi ABRI, PKI mempergunakan jalur
resmi dan jalur tidak resmi. Jalur resmi adalah Komisaris Politik Nasakom yang
mendampingi Panglima atau Komandan Kesatuan. Sedangkan jalur tidak resmi adalah
melalui Biro Khusus yang diketuai oleh Kamaruzaman (Syam).
Rupanya melalui penempatan Komisaris Politik Nasakom yang
terdiri atas PNI dan NU, PKI kurang berhasil karena ketangguhan sikap pimpinan
ABRI. ABRI mampu menanggulangi pengaruh PKI, bahkan dapat menjadi penghalang
bagi PKI dalam usahanya membentuk negara komunis. Oleh karena itu, pada
peristiwa Gerakan 30 September, yang dijadikan sasaran PKI adalah ABRI,
khususnya angkatan darat.
Republik Rakyat Cina (RRC) menyarankan agar Presiden
Soekarno membentuk Angkatan Kelima untuk melengkapi empat angkatan yang sudah
ada. Tujuannya adalah untuk memperkuat kedudukan PKI. Presiden Soekarno tidak
setuju dengan pembentukan angkatan kelima, dan dengan tegas ditolak oleh
pimpinan Angkatan Darat. Akhimya, PKI menganjurkan agar dibentuk Kabinet
Nasakom. Namun, anjuran itu hanya membawa hasil sedikit, yaitu dengan
diangkatnya beberapa tokoh PKI, seperti D.N.Aidit, M.H. Lukman, dan Nyoto
menjadi Menteri Negara.
Bab II
Pendahuluan
IV.
I. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
Demokrasi
Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu dari
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Jatuhnya kekuasaan Sukarno. Disebut
Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada
kepemimpinan Presiden Sukarno. Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno
adalah kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu presiden.
Ø Tugas
Demokrasi Terpimpin
Demokrasi
Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil sebagai
warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih mantap/stabil.
Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer/Liberal.
Hal ini disebabkan karena :
·
Pada masa
Demokrasi parlementer, kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara
·
Sedangkan
kekuasaan Pemerintah dilaksanakan oleh partai.
Dampaknya
dari Penataan kehidupan politik yang menyimpang dari tujuan awal adalah
demokratisasi (menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi
sentralisasi (pemusatan kekuasaan di tangan presiden).
Ø Penyimpangan
Yang Dilakukan dari Demokrasi Terpimpin Terhadap UUD 1945
1.
Kedudukan
Presiden
Berdasarkan
UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannya bertentangan
dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden
menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan
adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil
Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin
oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan
sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
2.
Pembentukan
MPRS
Presiden
juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Tindakan
tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945
pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui
pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki
anggota-anggota yang duduk di MPR. Anggota MPRS ditunjuk oleh presiden dengan
syarat adalah Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan
Republik Indonesia, dan Setuju pada manifesto Politik.
10
penuruan Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah,
dan 200 orang wakil golongan. Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN).
3.
Pembentukan
Dewan Pertimbangan Agung Sementara
Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden
No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri. Keanggotaan DPAS
terdiri atas satu orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang
utusan daerah, dan 24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah
memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah.
Pelaksanaannya
kedudukan DPAS juga berada dibawah pemerintah/presiden sebab presiden adalah
ketuanya. Hal ini disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan suara bulat
agar pidato presiden pada hari kemerdekaan RI 17 AGUSTUS 1959 yang berjudul ”Penemuan
Kembali Revolusi Kita” yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik
Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No.1
tahun 1960. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian
Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan MANIPOL USDEK.
V.
Kehidupan Ekonomi pada Masa Demokrasi
Terpimpin
Seiring dengan perubahan politik menuju demokrasi terpimpin maka ekonomipun
mengikuti ekonomi terpimpin. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian dari
demokrasi terpimpin. Dimana semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat
pemerintahan sementara daerah merupakan kepanjangan dari pusat. Langkah yang
ditempuh pemerintah untuk menunjang pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut.
1.
Pembentukan Badan Perencana Pembangunan Nasional
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka
dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959
dipimpin oleh Moh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.
Tugas Depernas :
- Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana
- Menilai Penyelenggaraan Pembangunan
Hasil yang
dicapai, dalam waktu 1 tahun Depenas berhasil menyusun Rancangan Dasar
Undang-undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969
yang disetujui oleh MPRS. Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai
perencanaan dan pembangunan proyek besar dalam bidang industri dan prasarana
tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan. 1963 Dewan Perancang
Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan Nasional
(Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.
2.
Penurunan
Nilai Uang
Tujuan
dilakukan devaluasi :
-
Guna membendung inflasi yang tetap tinggi
-
Untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat
-
Meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.
Maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya
mengenai nilai uang (devaluasi), yaitu sebagai berikut.
-
Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50
-
Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100
-
Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan
ekonomi yang semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para
pengusaha daerah di seluruh Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan
keuangan tersebut.
Pada masa
pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah tetapi
tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang. Hal
ini disebabkan karena :
-
Penghasilan
negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat pergolakan daerah yang
menyebabkan ekspor menurun.
-
Pengambilalihan
perusahaan Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi oleh tenaga kerja
manajemen yang cakap dan berpengalaman.
-
Pengeluaran
biaya untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, RI sedang mengeluarkan
kekuatan untuk membebaskan Irian Barat.
3. Kenaikan Laju Inflasi
Latar Belakang meningkatnya laju inflasi :
- Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami
kemerosotan.
- Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan
- Anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar
- Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada
- Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil
- Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan
keuangan tak memberikan banyak pengaruh
- Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi
kesejahteraan rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.
Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena:
-
Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalammelakukan
pengeluaran.
-
Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO (Games
of the New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New
Emerging Forces)
kekeuranganneraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa
-
Ekspor
semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa.
-
1965,
cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif sebesar
US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara
barat.
Kebijakan
Pemerintah :
-
Keadaan
defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan pencetakan
uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka inflasi.
-
13 Desember
1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan menjadikan uang senilai Rp.
1000 menjadi Rp. 1.
-
Dampaknya
dari kebijakan pemerintah tersebut :
-
Uang rupiah
baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan tetapi di masyarakat
uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dari uang
rupiah baru.
-
Tindakan
moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan menyebabkan meningkatnya
angka inflasi.
VI.
Perjuangan Pembebasan Irian
barat
Ada 3 bentuk
perjuangan dalam rangka pembebesan Irian Barat : Diplomasi, Konfrontasi Politik
dan Ekonomi serta Konfrontasi Militer.
1.
Perjuangan
Diplomasi
Ditempuh
guna menunjukkan niat baik Indonesia mandahulukan cara damai dalam
menyelesaikan persengketaan. Perjuangan tersebut dilakukan dengan perundingan.
Jalan diplomasi ini sudah dimulai sejak Kabinet Natsir (1950) yang
selanjutnya dijadikan program oleh setiap kabinet. Meskipun selalu mengalami
kegagalan sebab Belanda masih menguasai Irian Barat bahkan secara sepihak
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Kerajaan Belanda.
2.
Konfrontasi
Politik dan Ekonomi
Konfrontasi
ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan
kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi
tersebut sebagai berikut.
ü Tahun 1956
secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB, diumumkan pembatalan
utang-utang RI kepada Belanda.
ü Selama tahun
1957 dilakukan :
-
Pemogokan
buruh di perusahaan-perusahaan Belanda
-
Melarang
terbitan-terbitan dan film berbahasa Belanda
-
Memboikot
kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia
ü Selama tahun
1958-1959 dilakukan :
-
Nasionalisasi
terhadap ± 700 perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia
-
Mengalihkan
pusat pemasaran komoditi RI dan Rotterdam (Belanda) ke Bremen, Jerman.
3.
Konfrontasi
Militer
Dampak dari
tindakan konfrontasi politik dan ekonomi tersebut maka tahun 1961 dalam Sidang
Majelis Umum PBB terjadi perdebatan mengenai masalah Irian Barat.
Diputuskan bahwa Diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker bersedia
menjadi penengah dalam perselisihan antara Indonesia dan Belanda.
Bunker
mengajukan usul yang dikenal dengan Rencana Bunker, yaitu :
ü Pemerintah
Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.
ü Setelah
sekian tahun, rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk menentukan
pendapat apakah tetap dalam negara Republik Indonesia atau memisahkan diri.
ü Pelaksanaan
penyelesaian masalah Irian Barat akan selesai dalam jangka waktu dua tahun.
ü Guna
menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa, diadakan pemerintah
peralihan di bawah pengawasan PBB selama satu tahun.
Indonesia
menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek. Pihak Belanda
tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan usul untuk menyerahkan Irian
Barat di bawah pengawasan PBB. Selanjutnya PBB membentuk negara Papua dalam
jangka waktu 16 tahun.
Jadi Belanda
tetap tidak ingin Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Keinginan Belanda
tersebut tampak jelas ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara
Papua, lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaan. Tindakan Belanda tersebut
tidak melemahkan semangat bangsa Indonesia. Indonesia menganggap bahwa sudah
saatnya menempuh jalan kekuatan fisik (militer).
Perjuangan
jalur militer ditempuh dengan tujuan untuk :
ü Menunjukkan
kesungguhan Indonesia dalam memperjuangankan apa pun yang memang menjadi
haknya.
ü Menunjukkan
kesungguhan dan memperkuat posisi Indonesia.
ü Menunjukkan
sikap tidak kenal menyerah dalam merebut Irian Barat.
Bab III
Penutup
VII.
Kesimpulan
Demokrasi terpimpin adalah
sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta
pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit
presiden.
Era "Demokrasi Terpimpin",
yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam
menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus
menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
VIII.
Saran
Penulis
menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik
dari segi penulisan maupun materi, sehingga penulis mengharapkan saran dan
kritikan dari guru dan teman-teman yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan
makalah yang selanjutnya.
terima kasih atas perkongsian ini
BalasHapusKeren mas
BalasHapusMantap mas
BalasHapus